0Shares
source: pinters/ https://pin.it/2sUX0Dyoe

Oleh: Maria Jesselyn Yustitia PakpahanMahasiswa Fakultas hukum Universitas Mulawarman

Salah satu problematika yang masih sering terjadi ialah pernyataan bahwa laki-laki yang kuat dilarang menangis. Ungkapan ini telah tertanam dalam stigma masyarakat khususnya masyarakat yang cenderung patriarki. Dimana gender laki-laki dianggap sosok yang kuat dan berkuasa sehingga mereka dituntut untuk tidak boleh bersedih, karena sedih dicap sebagai tanda kelemahan.

Bahkan dijaman sekarang ini tidak hanya menyoal kesedihan tetapi juga dalam hal lainnya seperti, laki-laki yang gemar menata kecantikan, memasak, fashion, atau apapun yang bersifat feminim dianggap tidak jantan. Padahal setiap manusia itu berhak untuk mengekspresihan emosi dan preferensinya. Paradigma “toxic masculinity” atau maskulinitas beracun inilah yang menjadi pengekang kebebasan berekpresi laki-laki.

Toxic masculitity adalah bukti ketidakadilan gender yang tidak hanya dirasakan oleh perempuan saja. Ketidakadilan gender melahirkan konsep kesetaraan gender atau gender equality yang kerap ditemui ketika berbicara mengenai  persoalan perilaku masing-masing gender yang pastinya adalah salah satu gender yang ditekan untuk harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal, dan apabila salah satu gender berbuat sesuatu yang berlawanan pandangan tersebut maka dianggap tabuh atau melawan kodrat. Biasanya stigma ini sudah diajarkan sejak anak-anak, mulai dari cara bersosialisasi hanya boleh main sama laki-laki, dan sebagainya.

Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia menuntut seorang laki-laki harus tampil gagah dan maskulin cenderung menimbulkan tekanan psikologis yang negatif pada laki-laki yang mana karena alih alih merasa rendah untuk bersedih mereka memilih untuk melakukan tindakan yang agresif seperti kekerasan bahkan tindakan berisiko lainnya.

Maria Jesselyn Yustitia Pakpahan

Sungguh fakta yang sangat disayangkan, padahal sejatinya kita sebagai manusia diberikan hak dan kebebasan untuk melakukan sesuatu selama tidak mengurangi hak orang lain. Apalagi perihal menangis bukan sesuatu yang dianggap cengeng, perihal menyukai kegiatan yang bersifat feminis bukan sesuatu yang dianggap banci, selama yang dilakukan adalah hal positif dan tidak merubah seksualitasnya maka tidak perlu dipermasalahkan.

Toxic masculinity mungkin masih dianggap masalah sepele oleh sebagian orang, tetapi perlu diketahui bahwa efeknya luar biasa terhadap kesehatan mental karena adanya tekanan batin sehingga memengaruhi segala aktivitas korban. Tidak sampai pada gangguan aktivitas tetapi juga berdampak pada kondisi kesehatan fisik karena terlalu memikirkan tuntutan orang lain yang berujung menyalahkan diri sendiri.

Pada intinya, streotip toxic masculinity memang tidak mudah dihilangkan hanya dengan teguran atau edukasi ke masyarakat. Tetapi pola pikir ini bisa kita tanamkan pada generasi saat ini. Menanamkan pola pikir kesetraan gender pada anak seharusnya bisa menjadi pemutus rantai kesalahan berpikir masyarakat dulu. Harapannya dengan ini seluruh laki-laki, bahkan perempuan sekalipun bisa mengekpresikan diri mereka tanpa harus t mfglkm,.f,mmnnnnnnn         akut mengungkapkannya dimata dunia. So Stop Toxic Masculinity, Let’s Voice Equality!

Referensi:

https://www.its.ac.id/news/2022/11/27/laki-laki-dan-kekangan-dalam-berekspresi/

Ramdani, Muhammad Fadhil Fikri, and Pangestu Ararya Daffa Wisesa. 2022. “Realitas Toxic Masculinity Di Masyarakat.” In Prosiding Seminar Nasional Ilmu Ilmu Sosial (SNIIS), 1:230–35.

0Shares