0Shares

Oleh: Bert Toar Polii

Kegagalan timnas junior U26 dan U16 di The 25th APBF Youth Championships 2025  yang berlangsung di The Cavalli Casa Resort di Ayutthaya, Thailand mencerminkan gagalnya pembinaan pemain junior di Indonesia.

Betapa tidak, pembinaan pemain junior di Indonesia sudah terkenal sejak dulu. Bahkan event junior di APBF belum ada, Indonesia telah mengirimkan tim untuk mengikuti The World Youth Teams Championships. Tahun 1987 saat The World Youth Teams Championships dimulai Indonesia sudah mengirimkan tim. Kala itu baru diikuti 5 negara, yaitu Amerika Serikat, Argentina, Belanda, Perancis dan Indonesia digelar di Amsterdam Belanda. Semua enam pemain masih aktif main bridge sampai saat ini.  Mereka adalah Alfa Irinanda, Widi Pancono, Franky Karwur, Farly Sumual, Tommy Rogi dan Octa Wohon. Tahun 2013 atau 26 tahun kemudian baru Asia Pacific Bridge Federation mengadakan.event junior. Jauh sebelumnya Asean Bridge Club Championship telah mempertandingkan nomor junior tapi dengan persyaratan usia yang lebih longgar 30 tahun kebawah. Maklum pada masa itu bridge belum popular di kalangan usia muda berbeda dengan sekarang.

Kalau kita melihat sejarah keikutsertaan timnas Indonesia di The World Youth Teams Championship terutama beberapa tahun terakhir ini sebenarnya Indonesia langganan mengirim tim.

Terakhir The World Youth Teams Championships diadakan di Belanda tahun 2023 dimana Indonesia meloloskan Girls U26 yang 3 pemainnya Dewita Sonya Tarabunga, Della Ayu Nobira  dan Desy Noervita Rahayu ikut di Tim U31 yang lolos kembali.

Sayangnya berhubung padatnya jadwal turnamen tingkat nasional akhirnya Indonesia tidak jadi ikut.

Sebelumnya The World Youth Team Championship diadakan pada tahun genap dan perubahan dimulai tahun 2023 menjadi tahun ganjil sehingga bersamaan dengan The World Bridge Team Championship.

Terakhir diadakan sebelum pandemi Covid 19 di Wujiang China dimana Indonesia ikut pada nomor U26 open team dan U26 Girls.

Kebetulan dua pemain U26 sekarang sudah menanjak ke U31 ikut dalam tim 2018 dan sekarang meloloskan tim U31. Mereka adalah Mohammad Shahbana Satriawan dan Stefanus Endras Wijayanto. Tapi waktu itu mereka tidak berpasangan. Mohammad Shahbana Satriawan berpasangan dengan Hendrik Febriyanto dan Stefanus Endras Wijayanto berpasangan dengan Restu Narendra.

Di nomor Girls U26 ada Rachma Shaumi yang sekarang memperkuat U31.

Sebelumnya tahun 2016 Indonesia mencatatkan prestasi terbaik di Salsomaggiore Italia dimana Indonesia Girls U26 lolos pertama kali ke semifinal dan menerima Joan Gerard Award.

Kembali ke persoalan sesuai judul tulisan ini. Di Asia, Indonesia adalah pelopor untuk mengenalkan olahraga bridge di kalangan milenial. Diawali dengan Bridge Masuk Kampus kemudian tahun 2004 beralih ke program Bridge Masuk Sekolah dan sukses.

Sayangnya kita terlalu konsentrasi pada ‘pemasalan’ atau kuantitas melupakan soal kualitas.

Akibatnya seperti yang kita rasakan saat ini, pemain junior kita banyak tapi dari segi kemampuan kita ketinggalan dari negara-negara Asia lain yang baru menyusul, seperti China, India, Chinese Taipei dan tetangga kita negeri kecil Singapura serta sekarang menyusul Thailand yang baru mempopulerkan bridge di kalangan milenial mereka pada beberapa tahun belakangan ini.

Menurut tukang bridge apa yang telah dikerjakan oleh PB Gabsi saat Ketua Umum Wiranto dimana pada setiap perayaan HUT Gabsi diadakan Turnamen Hari Bridge Nasional dan untuk pasangan junior yang bermain sistem standar diberikan hadiah khusus. Pada waktu itu atas inisiatif Alm. Amran Zamzami didatangkan Paul Marston dari Australia untuk melatih guru-guru bridge agar paham modul pelatihan untuk para pemula dengan sistem standar. Dua buku Paul Marston diterjemahkan dan diterbitkan untuk menunjang program ini.

Ini kemudian dilanjutkan pada kepengurusan berikutnya oleh Miranda S Goeltom, Wempy S Tjetjep, Dahlan Iskan, Eka Wahyu Kasih dan kembali Miranda S Goeltom dan sekarang diteruskan oleh Syarif Bastaman.

Beberapa buku tentang sistem standar dan mengajar bridge telah diterbitkan. Tukang bridge suka dengan ide dari Eka Wahyu Kasih dimana para pemain junior kalau diskusi tinggal menyebut tema. Misalnya ini tema trump coup atau Squeeze kalau berbicara play. Ini teknik ducking, cabut trump dan lain-lain kalau bicara play. Ini cover honor dengan honor, saatnya menggunakan lavinthal dan lain-lain dalam defense.

Sementara itu saat Ibu Miranda S Goeltom memimpin ia juga menggelar TOT training of trainer serta di Kejurnas Bridge Junior diadakan turnamen individu dimana pemainnya wajib menggunakan sistem standar. Sekarang diteruskan oleh Syarif Bastaman dengan mengadakan individual tournament khusus untuk U20 dan pemainnya wajib menggunakan sistem standar.

Semoga pola pembinaan yang sudah ada ini dibuat satu kesatuan sehingga seragam dalam melatih para atlet millennial kita. Pengalaman tukang bridge saat menangani tim junior di pelatnas harus mulai dari dasar lagi karena umumnya para pemain tidak mempunyai dasar pengetahuan teori yang seharusnya sudah didapat saat pertama kali terjun di bridge. Seperti urutan lead, signal dan lain-lain.

Saya setuju dengan pendapat Joto Then mantan Ketua Bidang Teknik PB Gabsi masa bakti 2018-2022, sistem Precision tidak cocok untuk pembinaan awal. Sebenarnya Djarum Bridge Club telah membuktikan semua lulusan Djarum Bridge School belajar mulai dari sistem standar. Selanjutnya setelah mahir mereka berpindah main system Precision dengan mudah dan berhasil seperti pasangan Kristina Wahyu Murniati/Suci Amita Dewi yang telah meraih runner up Venice Cup 2011, 1st  Runner up , Toronto Trophy 2014 dan 2nd  Runner up Pasangan Wanita Dunia 2014.

Sudah banyak materi yang ada tinggal dikumpulkan kemudian diterbitkan sebagai e-book dan dibagikan ke seluruh Pengprov, Pengkot/Pengkab dan Klub bridge. Mungkin yang belum ada petunjuk untuk guru mengajar. Kita cukup menangani untuk tingkat beginner dan intermediate. Jika pemainnya sudah tertarik ia akan mengembangkan dirinya sendiri untuk tingkat advanced. Pelatihan untuk guru dan pelatih juga sebaiknya diadakan dan sekarang tidak perlu mahal karena bisa lewat zoom.

Beruntung saat ini kita masih punya Djarum Bridge Club dan Ganesha Bridge Club yang mampu mengirimkan pemainnya mewakili Indonesia dengan biaya sendiri. Rasanya mereka juga akan mendukung program pengajaran dan pembinaan bridge untuk kaum milenial.

Kegagalan di Ayutthaya kenapa menjadi pertanyaan besar? Karena kalau dilihat prestasi pemain yang dikirim baik U16 dan U26 mereka banyak meraih juara tingkat nasional bahkan U26 malah berprestasi di tingkat Asean tapi saat pertandingan di Indonesia. Itulah membuat tukang bridge menyadari ada yang salah dengan pembinaan kita. Tim dari luar negeri malah ada beberapa tim dimana mereka hanya menggunakan satu atau dua sistem tapi mereka bisa bertukar pasangan dengan mudah. Ini terjadi karena mereka belajar dari modul yang seragam.*

 

0Shares